ISTRIKU YANG MALANG

Penulis:Pupe Maelani

Tamat /62Bab

#CERITA DEWASA#Seorang gadis desa yang menikah dengan pria kaya dari kota dan merupakan pria yang telah memperkosanya setahun lalu. Namun, pria itu terus menyangkal dan tak pernah menganggap gadis itu sebagai istrinya, bahkan berpikir jika dia hanya dijadikan kambing hitam untuk menutupi kelakuan bejad sepupunya yang gemar gonta ganti pasangan. Akankah pria itu percaya dan menerima dia sebagai istrinya?Note : Baca cerita lainku, yaaa1. Duo Jones2. Duda Galau 2 : Istri Durhaka3. Sexy Wife4. Semvak Berenda5. Telat JodohFollow me on Instagram @pupe_maelani

Bab 1 IYM 1

✍️ .... Nama gadis itu adalah Ayumi Cahyani. Usianya akan genap 20 tahun bulan July nanti. Tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran wanita Indonesia, dengan rambut panjang yang sering diikat dan tubuh langsing membuat penampilannya terlihat cantik dan manis. Ayumi hanya lulusan SMA di desa tempat dia besar dan tinggal. Sejak lulus SMA, Ayumi bekerja sebagai buruh di pabrik tekstil yang ada di desanya. Ayumi tinggal bersama ibunya, Yuliawati di rumah peninggalan kakeknya, sedangkan ayahnya, Budiman sudah meninggal saat dia masih SMP. Yuliawati hanya seorang penjual nasi uduk di desanya, dan pekerjaan itu sudah dijalaninya sejak menikah dengan Budiman, dan hinga kini tak ada niat untuk menikah lagi karena hidupnya sudah sangat bahagia bersama putri satu-satunya. Ayumi dikenal sebagai gadis pendiam, tapi ceria. Dia selalu pulang tepat waktu setelah jam kerjanya selesai. Hanya sesekali saja Ayumi akan ikut berkumpul dengan temannya, itu pun siang hari, dan saat libur. Selebihnya akan dia gunakan waktunya untuk bekerja juga membantu Yuliawati mempersiapkan jualannya setiap pagi. Selain itu, Ayumi juga selalu membatasi pergaulannya dengan laki-laki, sehingga sulit untuk didekati. Dengan wajah yang cantik serta sikapnya yang baik, boleh dikatakan jika Ayumi adalah 1 dari bunga di desa tersebut. Hingga suatu hari kejadian memilukan menimpanya setelah pulang bekerja, tepatnya setelah Ayumi mengambil jam lembur. Keesokan paginya, Ayumi ditemukan oleh seorang nenek tua di sebuah gubuk tanpa sehelai benang. Ayumi diperkosa, dan cerita berawal dari sini. Gemercik air terdengar dari kamar mandi yang ada di bagian paling belakang rumah. Sedangkan di dapur, Yulia sedang sibuk menggoreng berbagai jenis jajanan untuk dijualnya bersamaan dengan nasi uduk yang dia gelar di meja depan rumahnya. Tak berapa lama, Ayumi keluar dari kamar mandi dengan handuk biru yang melilit di tubuhnya sebatas paha. Yulia yang sibuk menggoreng hanya melirik anak gadisnya yang tumbuh menjadi gadis cantik juga penurut. Benar, Ayumi adalah gadis penurut yang tak pernah membantah orang tua, baik saat ayahnya masih hidup atau pun tidak. Ayumi tetaplah anak gadisnya yang sangat dia sayangi. "Bu, Ayu sholat dulu bentar, ya," ucap Ayu berhenti sejenak di depan pintu. Yulia tanpa menoleh hanya mengucapkan kata "Ya" dan Ayu melangkahkan kaki untuk masuk ke kamarnya yang ada di sebelah dapur. Kecil ya rumah Ayu? Iya, rumah Ayu memang kecil. Hanya ada dua kamar. Kamar paling besar ada di bagian paling depan dekat pintu masuk, sedangkan dua kamar lainnya lebih kecil yang digunakan sebagai kamar Ayu, dan ruang kotor untuk menyetrika pakaian. Selesai dengan urusannya di kamar, Ayumi kembali ke dapur membantu Yulia mempersiapkan segalanya, hingga selesai menata semuanya di depan rumah. Ketika waktu menunjukkan jam 7 pagi, Ayumi akhirnya pamit untuk bekerja. Jarak dari rumah ke tempat Ayumi bekerja sekitar 1 km, dan kadang-kadang pergi menggunakan sepeda, jika sedang tak digunakan oleh ibunya. Sekitar 10 menit mengayuh sepeda, akhirnya Ayumi sampai juga bersamaan buruh lainnya yang mulai berdatangan. Ayumi memarkirkan sepedanya di tempat yang sudah disediakan dan bergegas menghampiri teman-temannya yang sedang sibuk sarapan di kantin kecil pabrik tersebut. "Ay, sini!" teriak salah satu temannya yang bernama Tiwi sambil melambaikan tangan. Melihat lambaian tangan orang yang dikenal, Ayumi bergegas menghampiri kedua temannya yang terlihat begitu menikmati menu sarapan nasi goreng juga lontong sayur. "Kamu gak makan?" tanya Ita tak jelas karena mulut yang dipenuhi makanan. "Sudah tadi di rumah," sahut Ayumi singkat dan langsung ambil posisi duduk di sebelah Tiwi. "Eh, eh ... aku ada gosip loh!" cicit comel Tiwi mewarnai adegan makannya. "Apa, apa? Aku semangat kalau urusan gosip mah!" timpal Ita semangat. Melihat kedua temannya sang duo kompor mledug sejak lahir, Ayumi hanya tersenyum tanpa berkata sepatah kata pun. "Aku dengar Pak Jamal nikah lagi loh dengan janda muda di kampung sebelah, kalau tak salah namanya itu ... hmm ... Mirna. Yaya benar, Mirna." "Kamu serius, Wi? Jangan salah ucap kamu! Kalau Pak Jamal dengar bisa marah loh!" sungut Ita yang tak ingin percaya begitu saja dengan bualan Tiwi. Pasalnya, Tiwi Ratu Gosip sejak masa SMP. "Aku serius, aku dengar dari tetanggaku semalam yang datang ke acara nikahan mereka. Nikahnya diam-diam alias nikah siri," lanjut Tiwi yang begitu meyakinkan. "Ya Allah, kasihan sekali istri Pak Jamal, dia dimadu sekarang," gumam Ita iba tanpa menghentikan suapan lontong sayur ke mulutnya. Ayumi yang menyimak hanya diam. Selain memang dikenal sebagai gadis pendiam, Ayumi juga tak ada kepentingan untuk berkomentar karena itu bukan urusannya. "Ay, gimana menurutmu?" ucap Ita melirik Ayumi yang sejak tadi bungkam. "Tak ada," jawab Ayumi singkat. "Ya Allah Ya Robbi, panjangan sedikit kalau komentar gak bisa, Ay. Jawab apa gitu!" oceh Tiwi yang diangguki Ita. "Itu urusan dia, bukan urusan kita. Sejauh tak mengganggu kita, biarkan saja!" Jawaban panjang Ayumi akhirnya terlontar juga dan membuat keduanya hanya menarik nafas lelah. "Gak asik banget jawabannya." "Bikin buntu materi gibahan kita terus!" Gerutu keduanya bersahutan, sedangkan Ayumi hanya tersenyum geli menatap mereka yang kembali sibuk dengan sarapannya, hingga tak lama berselang, bel masuk akhirnya terdengar. Semuanya bergegas masuk untuk memulai pekerjaannya masing-masing. Seorang pria dengan celana training berwarna abu serta kaos putih polos sedang menuruni anak tangga. Wajahnya terlihat begitu segar sehabis mandi dengan rambut yang masih sedikit basah. Aroma maskulin dari tubuhnya menyeruak ke ruangan yang dilaluinya, dan membuat Mariana menoleh ke arah sumber wangi tersebut. "Wangi sekali kamu, seperti duda genit saja!" ucapan tajam meluncur bebas dari bibirnya. "Ya Allah, Ma, anak sendiri dibilang duda. Nikah saja belum apalagi kawin!" sungutnya sambil menarik kursi, lalu duduk. "Ya lagian kamu wangi betul. Wangi ayam goreng mama kalah sama wangi minyak duyungmu itu!" celetuk Mariana sambil mengangkat sepotong ayam goreng dengan penjepit. Mendapat teguran dari sang mama, dia hanya menarik senyum simpul, dan mulai meneguk teh hangat yang ada di meja. Mariana melangkahkan kakinya menghampiri anaknya yang terlihat asik membaca koran, dan meletakkan sepiring ayam goreng panas beserta menu lainnya dibantu seorang pembantu yang sejak tadi hanya tersenyum geli melihat sang nyonya memarahi anaknya. "Apa sih, Bik Atun, senyum-senyum lagi!" sungutnya kesal. Pembantu yang dipanggil hanya membalas senyuman tanpa kata dan berlalu meninggalkan ruang makan yang hanya berisikan Mariana dan putra semata wayangnya, Alfandy Benjamin Bakkas yang sering dipanggil Abe. Abe adalah seorang pria tampan berumur 30 tahun dengan ciri fisik tinggi menjulang bak tiang listrik karena memiliki darah bule yang menurun dari sang kakek. Bermata coklat terang, rambut hitam seklimis model shampoo, diiringi kekayaan yang diwarisi oleh almarhum papanya yang sudah meninggal serta hasil dari jerih payahnya bekerja selama ini mengembangkan perusahaannya di bidang perhotelan, dan real estate. "Oya, kamu jadi berkunjung ke Desa Sukamekar untuk memantau lokasi berdirinya hotelmu selanjutnya?" tanya Mariana membuka pembicaraan. Sebelum menjawab, Abe terlihat melirik ke arah Mariana dan menelan makanan yang dikunyahnya. "Insaallah jadi, Ma. Mama mau ikut?" ucap Abe balik bertanya. "Tidak, besok mama ada perlu. Berapa lama kamu stay di sana?" lanjut Mariana lagi. "Kurang lebih seminggu, Ma. Abe ingin refresh otak juga di sana. Kebetulan tempat itu sangat indah karena masih pedesaan, dan Abe ingin muter-muter daerah sekitarnya," jelas Abe yang diangguki Mariana. "Ya sudah kalau begitu. Jika urusan mama sudah selesai, nanti mama akan menyusul deh!" sahut Mariana lagi. Keduanya kembali melanjutkan sarapannya tanpa bicara dan hanya dentingan sendok juga garpu yang terdengar bersahutan. Sesekali mata Mariana menatap Abe yang sibuk dengan makanannya dan hampir habis tanpa tahu jika sang mama menatapnya sendu melihat putranya sudah menjadi pria dewasa nan tampan. Harapan kecil tiba-tiba muncul di benaknya. Harapan yang belum sempat Mariana ungkapkan selama ini kepada Abe. "Semoga kamu temukan seseorang di sana."

Bab 2 IYM 2

Keesokkan harinya, Abe terlihat sedang menyisir rambutnya yang sudah klimis dan tak lupa aroma parfume ciri khasnya sudah menyeruak ke seantero penjuru rumah. Pagi ini, Abe akan berangkat ke Desa Sukamekar untuk meninjau lokasi hotel yang akan didirikannya. Sedangkan Mariana sudah pergi sejak sejam lalu untuk mengurusi urusannya yang sudah mendesak. Dirasa sudah cukup dengan penampilannya, Abe keluar dari kamar bernuansa light grey dan menuruni anak tangga dengan santai. Kebetulan perjalanan kali ini memang tak dikejar waktu. Langkah lebarnya langsung tertuju ke ruang makan yang telah tersedia beraneka ragam menu sarapan seperti disiapkan untuk sepuluh orang. Berdiam sejenak, Abe menarik nafasnya lelah, lalu menarik kursi, dan duduk seorang diri menikmati sarapannya. Sesekali Bik Atun datang sekedar melihat Abe yang sibuk mengunyah makanannya tanpa suara. Tak lama waktu berselang, seorang pria dengan pakaian santai datang menghampiri Abe yang tak menghiraukan kedatangannya dan tetap melanjutkan sarapannya dalam diam. "Sepi banget nih rumah, Tante Ana ke mana, Be?" ucapnya kencang sambil berdiri menoleh kiri kanan. "Sudah berangkat sejam yang lalu," sahut Abe datar. Pria itu duduk menarik kursi dan ikut sarapan bersama Abe seperti orang tak makan seminggu, hingga membuat Abe menatapnya heran. "Berapa hari gak makan?" tanya Abe tajam dengan wajah mengernyit. "Sehari," sahutnya cepat. "Sehari tak makan saja sampai lahap begitu, bagaimana jika seminggu?" sambung Abe tak habis pikir. "Aku tahan tak makan seminggu, Be, tapi aku tak tahan kalau tak goyang pinggul walau sehari. Rasa mau mati diri ini," sahutnya sambil terkekeh. "Jangan mulai deh! Masih pagi!" ucap Abe yang sudah paham ke mana arah kalimat lawan bicaranya. "Justru karena pagi, Be. Bisa segarin otak kita bahas gituan, apalagi langsung exercise. Alamak!" cerocosnya dengan mulut penuh makanan gratis. "Serah!" sahut Abe judes. "Be Be, aku dengar dari Tante Ana, cewek di Desa Sukamekar cantik-cantik ya. Masih polos tanpa polesan. Benarkah?" ucapnya penasaran. "Terakhir aku ke sana tak terlalu perhatikan hal itu. Namanya cewek pasti cantik, masa ganteng, dan balik lagi juga tergantung sudut pandang kita juga sih! Cantik itu relatif." papar Abe yang menghentikan suapannya. "Jadi tak sabar ingin cepat sampai di sana. Siapa tahu ada yang bikin hati abang kepincut. Ow yeah ...," serunya mendesah sambil meliukkan tubuhnya. Abe yang melihat kelakuan sepupunya tersebut hanya bergidig tak perduli. Sudah hafal dengan sifat sepupunya yang terkenal playboy cap teh pucuk. Sekali gerak ke ujung langsung habis masa depan pohon teh. "Eh, Be Be!" panggilnya lagi tak bisa diam. "Ya Tuhan, sekiranya malaikat pencabut nyawa sedang tak ada kerja, perintahkan dia untuk mencabut nyawa dedemit ini agar hidupku lebih damai tanpa gangguan, Amin." Mendengar doa tulus tersebut, pria itu menganga dan tersadar ketika makanan di mulutnya jatuh mubazir. "Ishh, tega sekali doamu saudaraku. Tuhan tak akan kabulkan doa yang buruk-buruk dari hambanya macam doa barusan!" beonya dalam sekali sembur. Abe hanya memutar kedua bola matanya malas, malas menghadapi sepupunya, Ayman yang banyak bicara. Lelah mungkin yang dirasa Abe sepanjang hidupnya karena lahir bersamaan dengan Ayman 30 tahun lalu serta ruang persalinan berdampingan. Bedanya, Ayman sosok pria yang tak bisa diam dan ramai, belum lagi jajaran wanita yang siap membuka kedua kaki untuknya selalu mengisi tujuh hari full dalam hidupnya yang sibuk dengan pekerjaan. Sedangkan Abe adalah sosok pria yang dingin, sedikit bicara, dan tak mudah didekati, terutama wanita. "Lagi sejak datang Ba Be Ba Be terus kamu! Dikira aku Babe?" beo Abe kesal dengan kebiasaan Ayman yang memanggilnya begitu sejak kecil, Babe. "Yeeee, itu panggilan sayang, Be. Saking sayangnya aku tuh jadi sepupumu. Harusnya kamu bahagia dapat panggilan special dari aku," timpal Ayman tak mau kalah yang semakin membuat Abe ingin menggantungnya di jemuran. "Capek aku!" seru Abe menyerah meladeni orang gila numpang makan. Ayman hanya terbahak melihat Abe yang seketika bad mood dengan ulah usilnya. Itu adalah hobi Ayman mengganggu Abe sejak kecil yang pendiam dan dingin. Hanya dengannya, Abe banyak bicara dan berkeluh kesah tentang dirinya. Di balik debat yang sering terjadi, tak ada dendam di antara keduanya, karena itulah cara mereka saling menyayangi sebagai keluarga. Setengah jam sudah berlalu, saatnya Abe dan Ayman bergegas menuju Desa Sukamekar. Mereka berangkat menggunakan penerbangan siang yang menempuh waktu kurang lebih dua jam. Tak banyak barang yang dibawa keduanya, hanya koper kecil yang memuat beberapa berkas karena pakaian ganti sudah ada di rumah peristirahatan yang Mariana bangun setahun lalu. Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore, dan sekitar 30 menit lalu mereka tiba di bandara. Seorang sopir menjemput mereka tepat waktu dan meluncur tanpa hambatan ke rumah peristirahatan yang berdiri di sebuah kaki bukit. Di sepanjang perjalanan, Ayman membuka jendela mobil untuk menikmati suasana indah pedesaan yang sangat asri dengan kabut yang mulai turun. Dingin, itulah udara yang masuk menyapa paru-paru, berbeda dengan udara perkotaan yang sudah sangat tercemar dengan polusi, baik polusi udara juga polisi mata. Abe tersenyum tipis melihat Ayman yang begitu menikmati suasana di luar jendela. Tak heran, ini memang kali pertama baginya datang ke desa ini karena selalu sibuk dengan urusannya mengelola perusahaan ayahnya yang kini jadi tanggung jawabnya. Tak ada waktu bagi Ayman berlibur ke pedesaan karena selama ini dia hanya akan menghabiskan akhir pekannya dengan wanita-wanita langganannya di sebuah club. "Gila lo, Be, gilaaaa!" tiba-tiba suara Ayman mematahkan senyum manis Abe yang terukir cukup lama di bibirnya. "Mulai lagi udah!" gumam Abe dengan suara yang mungkin tak didengar Ayman. "Kok bisa, ya, Be, Tante Ana dapat tempat seindah ini? Tahu dari lama, aku sering ikut berkunjung ke sini bawa cewek seksih!" beonya yang malah membuat wajah Abe kesal. "Sembarangan kamu! Jangan harap kamu bisa bawa gundikmu datang ke sini. Aku kebiri kamu yang ada!" ancam Abe yang dibalas kekehan mengejek oleh Ayman. "Serem sekaleeee ancamanmu, Babeku!" ejek Ayman melirik sebentar ke arah Abe yang sudah emosi. "Serah!" sahutnya malas dan menyibukkan diri menatap handphone di tangannya. Hening kembali menyapa isi mobil yang terus bergerak menembus kabut sore nan semakin tebal. Perlahan sang sopir melambatkan laju mobilnya ketika menemui jalan berliku hingga memasuki daerah yang cukup ramai. Tampak beberapa warga sekitar berlalu lalang berpapasan dengannya yang baru saja menjalani kesibukannya masing-masing, hingga suara Abe mengalihkan Ayman yang sedang meminum air mineral. "Tuh lihat!"

Bab 3 IYM 3

Mobil hitam yang membawa Abe dan Ayman akhirnya memasuki pekarangan cukup luas dan ditumbuhi banyak bunga-bunga serta pohon cemara. Di depan rumah, terlihat laki-laki dan wanita paruh baya sedang berdiri menyambut kedatangannya. Mobil pun berhenti tepat di depan mereka dan tak berapa lama pintu kursi penumpang terbuka. Dua orang pria dewasa dengan tinggi yang sama juga tegap melangkahkan kakinya menghampiri sosok yang lebih tua dari mereka sambil melempar senyum. "Selamat datang, Den!" ucap pria baya itu sambil tersenyum ramah diikuti sang wanita di sebelahnya. "Terima kasih, Ki, Mbok. Kenalkan, ini sepupu saya satu-satunya, namanya Ayman," ucap Abe lembut memperkenalkan Ayman kepada keduanya. Dengan yakin, Ayman langsung mengulurkan tangan kanan ke arah keduanya yang langsung menyambut penuh bahagia. "Ayman, satu-satunya cowok yang gantengnya bisa ngalahin Abe," seru Ayman dengan wajah menyebalkan andalannya membuat mereka mengulas senyum, "Saya Ki Mamet dan ini istri saya, Mbok Inem. Semoga Den Maman betah di sini ya!" seru Ki Mamet berharap hal yang paling baik menurutnya. "Buset dah! Sejak kapan Ayman jadi Maman?" kaget Ayman dengan sebutan baru yang baru didengarnya. Abe dan yang lain hanya tersenyum, terlebih Abe yang senyumnya terlihat mengarah pada senyuman mengejek. Iya, mengejek karena bahagia lebih tepatnya. "Maman? Boleh juga sih! Ok deh, Ki. Besok kita bikin nasi tumpeng untuk meresmikan nama baru saya, dan semoga nama itu membawa berkah serta diminati banyak cewek-cewek cantik. Amin!" cerocos Ayman panjang kali lebar dan ternyata sudah ditinggalkan oleh Abe yang sudah masuk ke dalam rumah sambil menarik kopernya dengan santai. Sambil menggerutu tak jelas, Ayman akhirnya menyusul masuk diikuti oleh Ki Mamet dan Mbok Inem yang hanya mampu mengulas senyum. Sedikit banyak, Abe sudah menceritakan rencana kedatangannya hari ini, tepatnya seminggu yang lalu. Selain itu, Abe juga sudah menceritakan tentang sepupu resenya yang bernama Ayman akan ikut berkunjung serta segala sikap konyolnya. Hari semakin larut dan udara malam terasa semakin dingin menusuk tulang. Waktu sudah menunjukkan jam 9 malam. Abe dan Ayman terlihat sedang di ruang kerja mengerjakan berkas yang harus diperiksa. Terlalu sibuk mereka hingga tak sadar jika Mbok Inem mengetuk pintu dan masuk mengantarkan teh panas serta camilan. Ayman melihat kudapan yang dibawa Mbok Inem langsung menghentikan kegiatannya dan kini sibuk menikmati tanpa memperdulikan Abe yang nampak khusyuk melihat layar komputer. "Den Abe benar-benar khusyuk kalau sedang kerja ya, Den?" kata Mbok Inem melihat Abe tak ada tanda-tanda tergiur dengan harum pisang goreng yang dibawanya. Ayman memutar bola matanya ke arah Abe, dan benar, Abe tak bergeming. Bahkan, seolah matanya lupa untuk berkedip kecuali ada semut nakal masuk ke mata tajamnya yang selalu melotot. "Abe memang begitu, Mbok. Pekerja keras sampai lupa waktu. Makanya Tante Ana sering memarahinya karena jam kerja Abe yang hampir 20 jam dalam sehari," terang Ayman sambil terus mengunyah pisang goreng di tangan kanannya. "Kuat banget ya, Den. Kalau datang ke sini pun lebih banyak di ruangan ini, dan hanya sesekali jalan sore jika ada waktu senggang. Itu pun sendirian karena tak ingin ditemani," terang Mbok Inem lagi dengan pandangan tak putus melihat Abe yang seperti menulikan telinganya dengan dunia luar. "Begitulah, Mbok. Hari-harinya cuma untuk kerja dan kerja. Makanya, sampai sekarang dia tak punya pacar. Padahal banyak sekali wanita cantik nan sexy antri untuk sekedar dicolek sedikit oleh Abe. Namun, jangankan dicolek, Mbok, dilirik pun tidak. Hufff!" papar Ayman menjabarakan perihal Abe sesuai fakta yang ada. "Wanita-wanita itu pada sakit hati dong diabaikan Den Abe?" tanya Mbok Inem. "Pastilah, Mbok. Abe tuh judes kalau bicara, apalagi dengan hal yang dia tak sukai. Selain itu, dia juga tak pandang bulu. Tak perduli orang tersebut pria atau wanita, jika dia tak suka, ya galak macam singa ingin makan," sahut Ayman dengan bahu bergidig. Mbok Inem melihat Ayman dengan terampilnya memaparkan semua yang diketahuinya tentang Abe, terutama perihal wanita dan hanya tersenyum simpul. Tak heran pikirnya karena selama mengenal Abe, Mbok Inem memang tak pernah melihatnya membawa seorang wanita. Jangankan membawa dan memperkenalkan wanita, menyebut nama seorang wanita saja tak pernah kecuali nama ibunya, Mariana. "Saya tuh rada-rada curiga, Mbok, Jangan-jangan Abe tak suka wanita, melainkan suka sejenis gitu!" seru Ayman mulai mengeluarkan analisisnya yang selama ini dia pendam. Kening Mbok Inem berkerut seketika mendengar ucapan Ayman dan bergeser mendekat, ikut duduk di sampingnya. "Suka sejenis bagaimana maksudnya, Den? Mbok kurang paham!" tanya Mbok Inem yang penasaran sekaligus memang tak paham dengan arah pembicaraan Ayman. "Iya, Mbok. Maksud saya, jangan-jangan Abe itu ada kelainan, maksudnya suka ke sesama jenis, pisang makan pisang, ngertikan?" jelas Ayman dengan raut wajah menyakinkan demi meracuni pikiran Mbok Inem yang lurus. Sontak mata Mbok Inem yang sedikit sipit membulat sempurna, lalu melirik ke arah Abe yang tak bergeming karena sibuk menatap layar komputer. Mbok Inem terdiam dan hanya mampu melihat Abe dengan pantulan cahaya menerpa wajah tampannya diiringi suara keyboard terdengar begitu cepat diketik oleh sepuluh jarinya yang sudah terampil. "Hushh ... tak mungkin Den Abe sepeti itu, Den. Jangan bicara sembarangan! Tak baik menuduh saudara dengan hal kejam begitu!" seru Mbok Inem memukul bahu Ayman yang dibalas kekehan. "Hahahaha ... intermezo, Mbok, biar gak tegang. Coba tuh lihat Abe, dari tadi mirip patung, sejak tadi saya diabaikan," gumam Ayman mencibir. Mbok Inem hanya tertawa geli melihat dua pria tampan dengan dua kepribadian yang bertolak belakang. Yah, walaupun sering cekcok, tapi jauh di dalam hati, mereka saling menyayangi satu sama lainnya. "Mbok, sudah malam. Mending tidur saja, jangan dengarkan setan bokep ceramah! Ajarannya tak ada yang benar, semuanya menyesatkan." Tiba-tiba suara Abe terdengar mengalihkan keduanya yang sedang berbisik membicarakannya. Keduanya hening seolah lupa untuk bernafas dan saling pandang. "Aku bukan setan bokep, Be, tapi fans bokep. Itu dua hal berbeda, jadi jangan samakan!" sahut Ayman membenarkan julukannya. "Sama saja! Sama-sama bokep toh!" balas Abe yang kini menghentikan kegiatannya dan menatap Ayman tajam. "Iya iya, aku memang bokep. Mau nonton gak, kebetulan ada film baru nih! Bisa jadi referensi buat olahraga malam," sahut Ayman semakin jadi dan semakin menyesatkan. Mbok Inem hanya menghela nafas lelah, lelah melihat keduanya mulai adu mulut. Perlahan Mbok Inem bangkit dari duduknya sambil membawa nampan yang sudah kosong, dan bergegas meninggalkan keduanya yang hanya diam menatap kepergian Mbok Inem tanpa pamit. "Tuh kan. Kamu sih bawa-bawa bokep!" seru Ayman memarahi Abe. "Yang menjabarkan bokep kamu, gundul. Bukan aku!" bantah Abe lagi. Ayman tak membalas lagi dan meneruskan makan pisang goreng. Melihat betapa nikmatnya Ayman makan, Abe bangkit dari singgasananya dan menghampiri Ayman untuk bergabung makan pisang goreng ala Mbok Inem yang tak ada tandingan. Keduanya makan dalam keheningan dan terdengar rintik hujan mulai turun membasahi bumi. "Aku mau bicara serius. Bisa?" tanya Ayman dengan suara pelan dengan raut serius. Abe menoleh menelisik wajah Ayman yang jarang serius dan setelah yakin jika Ayman dalam mode serius, Abe menganggukkan kepalanya. "Kamu kapan kenalin Tante Ana calon menantu?" ucap Ayman. Abe bergeming dan tetap melanjutkan kunyahannya. "Tempo hari, Tante Ana sempat bilang jika dia ingin kamu menikah dan tidak sibuk dengan pekerjaan saja," lanjut Ayman lagi. "Kamu tak kasihan dengan Tante Ana? Dia ingin memiliki seorang menantu dan cucu."